PBAK UIN Jakarta dan Indoktrinasi yang Dianggap Jahat



BulletinOnlinePermai,  Ciputat - Sebenarnya saya sudah tidak bergairah menulis apa pun tentang kegiatan PBAK UIN JAKARTA yang sedang di adakan saat ini, apalagi soal UIN  yang hawanya panas sepanjang tahun. Maklum, yang hijau-hijau sudah jarang terlihat. Apa ayo yang hijau-hijau?

Jangan suudzon dulu. Yang hijau itu maksudnya pohon-pohon rindang. Emang agak sensitif ya kalo ngomongin yang hijau-hijau di UIN Jakarta.  Gak cuma hijau. Kalau ngomongin warna hijau, biru, dan merah itu bawaannya emosi mulu.

Tapi sembari menikmati senja, minum kopi Arabika, sambil denger lagu indie, gak ada salahnyalah saya nulis sedikit saja tentang kampus UIN yang anda dan kami cintai. 

Momen PBAK kayak sekarang ini adalah momen yang ditunggu-tunggu semua mahasiswa baru (Maba) dan semua aktivis mahasiswa dari tingkat jurusan sampai universitas.

Apa sih yang ditunggu? Kalau maba mungkin nunggu ini, karena ini momen sakral di mana kamu akhirnya bisa masuk PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) setelah baku hantam; "eh" maksudnya lolos seleksi dari ribuan peserta lainnya.

Atau mungkin ada yang senang bisa ketemu kakak-kakak tingkat (kating) yang ganteng dan cantik. Kalau untuk "si kating yang aktivis", momen ini ditunggu karena di sanalah misi-misi terselubung disiapkan, lengkap dengan strategi dan taktiknya.

Biasanya kalau lagi Ospek atau PBAK, kampus itu berisik. You know-lah, maba-maba itu digiring supaya teriak-teriak nyanyiin yel-yel yang kadang gak jelas gitu. Gak cuma berisik, tapi maba-maba diwajibkan pakai berbagai atribut yang menyimbolkan dari fakultas tertentu dan ada sedikit misi terselubung dari simbol-simbol tersebut. 

FYI: Dua tahun yang lalu saya juga pernah kok kayak gitu. Jadi woles aja, nikmatin. Yel-yel diteriakkan, atribut dipakai, dan  lucunya mereka yang di medsos pun mulai menyinyir. Cuekin aja,  Kalo kata Fakultas depan Perpustakaan Utama (PU) kan,  Yang Penting "USHULUDDIN" hehe

Biasanya nih netizen komen gini "Ospek tuh harusnya mendidik, bukan jadi ajang perpeloncoan." Yang kayak gitu biarin aja. Dia gak tahu kalau di UIN Jakarta  perpeloncoan itu nomor sekian; yang nomor satu itu INDOKTRINASI. Kalau gak tahu indoktrinasi, tanya katingnya atau buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Indoktrinasi adalah hal yang paling utama di PBAK UIN Jakarta yang lainnya cuma acara seremonial, seperti perkenalan jurusan, fakultas, universitas, dan sekelumit cerita yang bisa dibaca di buku pedoman akademik atau di website uinjkt.ac.id dan website masing-masing fakultas.

Tapi bagi saya, kegiatan mendoktrin orang untuk condong ke salah satu organisasi yang ada di kampus itu adalah hal yang sangat mulia. Apalagi kampusnya Islam seperti UIN Jakarta ini. Sebagaimana kita ketahui, Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang penuh cinta dan akan membawa kita ke jalan yang benar menuju Allah SWT.

Kenapa saya bilang indoktrinasi adalah hal yang sangat mulia? Sebab maba-maba ini ibarat kertas putih yang masih bersih. Oleh karena itu, apa pun yang ditulis di atasnya, tergantung siapa yang menulis dan ditulis dengan warna apa, hijau, biru, atau merah.

Dan dari Indoktrinasi ini sebenarnya tanpa disadari telah mendakwahkan UIN Jakarta sebagai kampus dengan budaya Politik tinggi.  Dan membuktikan dirinya layak disebut sebagai Pusat Intelektual Muslim Indonesia yang memiliki madzhab pemikiran sendiri. 

Sayangnya, indoktrinasi yang dilakukan di kampus UIN sering dipandang sebelah mata atau bahkan dipandang sebuah kejahatan.  Biasanya narasi seperti ini muncul dari mereka yang tanpa organisasi atau disebut kubu abu-abu atau kubu "Harmonisme" 

Kubu ini sangat handal dalam membangun image positif. Apa sih image positif? Ia adalah wajah di mana semua janji mahasiswa terhadap sesamanya, kampusnya, dan negaranya bisa dijalankan secara harmonis. Hal seperti ini yang sebenarnya berbahaya bagi mahasiswa baru karena akan ber efek pada tumbuhnya sikap Apatis pada maba. 

Mereka adalah orang-orang yang mendambakan ke harmonisan kampus (harmonisme) tanpa ada pertarungan politik yang berlebihan.

Tapi sayangnya,  para pelaku indoktrinasi  pun yang notabene berasal dari organisasi hijau, biru, dan merah pun malah terbawa narasi kelompok mahasiswa "harmonisme". 

Ditambah indoktrinasinya kebanyakan hanya mengandalkan instruksi yang sudah membudaya turun-temurun yang tidak pernah ditanyakan kebenarannya.


Apa itu instruksinya? Kurang lebih begini: "kita harus melakukan pendekatan emosional sebaik-baiknya. Nanti kalau udah dekat, enak kita ngajak masuknya (read: masuk organisasi hijau, biru, atau merah)".

Akhirnya mereka malah melakukan indoktrinasi kepada para maba untuk kemudian dimanfaatkan saat momen Pemira saja. Padahal sebaiknya  para "aktivis warna-warni" membuktikan kepada mahasiswa "abu-abu"  kalau arah, tujuan, dan ideologi kalian sudah jelas karena diatur oleh anggaran dasar/anggaran rumah tangga (ad/art), ketimbang mereka yang tidak punya pedoman.

Saya meyakini semua pedoman organisasi dari hijau, biru, dan merah muaranya sama, yaitu pada Islam dan Indonesia. Lalu buktikanlah kepada massa "harmonisme" kompetisi dan konflik pada intensitas yang wajar adalah penting untuk merangsang gerakan yang lebih inovatif dan efektif, Pemira itu hanya salah satunya.

Ada hal penting lain dari indoktrinasi. Jika proses ini dijalankan dengan baik, sesuai etika masing-masing organisasi dan tidak melanggar peraturan negara, maka akan banyak maba yang masuk. Maba yang masuk ini adalah bahan bakar baru yang mungkin saja akan jadi pembaru organisasi hijau, biru, dan merah yang sekarang bisa dibilang sedang tidak baik-baik saja.

Seperti kita ketahui, ketiga organisasi besar di UIN Ciputat itu sedang terjangkit penyakit pragmatisme akut yang gagal melahirkan kader idealis yang gigih dalam memperjuangkan cita-cita organisasi dan cita-cita negara.

Hal lain yang menjadi tantangan adalah maraknya organisasi "ekstrem" yang masuk di tengah kelengahan ketiga organisasi itu, sepertinya mereka bertiga terlalu asyik bertikai sampai lupa kalau musuh mereka yang sebenarnya sudah makin digandrungi banyak mahasiswa. 

Terakhir, untuk rektor, dekan, kaprodi, dan jajarannya, wajib hukumnya membuat suasana PBAK itu fair play. Jangan membuat image Anda sendiri jelek karena condong ke salah satu organisasi. Jika Anda profesor atau doktor, jangan tunjukkan mental Anda seperti mahasiswa baru masuk organisasi eksternal yang wajar kalau dia agak fanatik.

Jadi untuk aktivis warna-warni, lanjutkan cari kadernya, tapi jangan lupa musuh kita adalah organisasi "ekstrem" yang sudah makin banyak penggemarnya dan musuh kita yang lainnya adalah mahasiswa harmonisme penyembah IPK besar tanpa inovasi.

Berhubung kopi saya sudah habis, maka saya sudahi juga tulisan ini.


Ciputat 27 Agustus 2019
Yudha Permana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar